Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Our Stories’ Category

7 Januari 1997

Ketika aku menemuka cinta dalam hidupku, tujuanku cuma satu. Menjadikannya tempat sandaran hidupku,yang akan mendampingiku dan melindungiku. Ketika pada akhirnya saat indah itu datang, cinta itu menjadi milikku dan dipersatukan dalam tautan yang akan kujaga mati-matian…..

10 Juni 2007

Ketika cinta itu telah melebur, aku mulai berfikir akan buah cinta yang akan hadir, yang sebagaimana aku dambakan sejak awal….

17  Oktober 2008

Akhirnya buah cinta itu tumbuh dalam diriku, menempel erat pada sebuah ruangan paling aman dan nyaman untuknya untuk tumbuh. Cinta kami mulai menyayangimu….

Setiap helaan nafasku aku bernafas untuknya,setiap pertumbuhannya menjadi kebahagiaan bagiku…

Kami mulai tidak sabar memelukmu…cinta…..

19 Maret 2009

Cintaku sudah berumur 22 minggu ketika aku mulai berfikir nama yang tepat untuknya, nama yang akan menjadi doa sampai dia dewasa kelak, yang kan disandangnya dan dibanggakannya satu waktu kelak, kami memberinya nama Fauzan Adhima, Cintaku akan jadi orang besar….

Hari-hariku penuh dengan Cinta, semua yang kulakukan demi Cinta, aku tak malu walau harus gendut, asal Cintaku sehat…

7 Mei 2009

Malam itu Cintaku harus dilahirkan.Karena pembukaan jalan lahir yang sudah lengkap dan tidak mungkin lagi dipertahankan.Seorang bayi laki-laki lahir dan sangat mirip dengan papanya. Aku sadar akan Cintaku, masih terlalu muda, kurang matang, Prematur…….

Secepat inikah Cintaku…????Usiamu baru 29 Minggu nak….!!!Beratmu bari 1500 gr, mama bahkan belum sempat mencuci baju dan bedongmu….

Dhima, begitu kami memanggilnya, lahir dengan Apgar Score yang rendah, beberapa jam setelah kelahirannya Dhima kesulitan bernafas karena kondisi paru-parunya yang kurang matang,karena bantuan oksigen kurang memadai dhima harus dipindh ke RS yang lebih besar. Konsisinya lemah ketika aku kuatkan diriku untuk melihatnya di Inkubator, Kecil sekali,Kepalanya hanya sekepalan tanganku,panjangnya tak lebih dari 45 centi, lengannya hanya sebesar jari telunjukku, muka dan tubuhnya masih dipenuhi bulu-bulu halus yang lebat.

Aku ingin sekali menangis, tapi begitu aku panggil namanya, mata kecilnya terbuka dan menatapku, berair,dia tahu aku mamanya…..

Nak,padahal mama belum sempat menggendongmu, mama bahkan belum menyentuh kulitmu mama belum tau lebatkah rambutmu.Gagal sudah impianku untuk memberinya kolostrum pertamaku,karena dia harus puasa di hari pertama dalam hidupnya…..

Aku diliputi rasa bersalah yang amat-amat besar, aku merasa berdosa tidak menjaganya dengan baik dalam rahimku,Kenapa aku ya ALLAH…………..

14 Mei 2009

Minggu pertama Dhima sangat sulit.Keadannya tidak juga membaik…..

Nafasnya masih sesak, berat badannya terus menurun, dan tubuhnya kuning dan yang lebih menyedihkan lagi bagi ku,dia masih harus puasa….

Kami bertekad tidak akan meninggaalkanya di RS walaupun dia berada dalam ruangan steril dan kami tidak merawatnya langsung.Suamiku rela tidur di luar selama dia berada di RS.

17 Mei 2009

RS menelpon pagi-pagi buta.Pikiran buruk muncul dikepalaku.Ada apa dengan anakku???

Kami diminta segera datang ke RS. Dhima mengalami henti nafas…..

Saat itu badanku melayang, tulang-tulangku lolos dari tubuhku,dadaku sesak,aku menangis histeris membayangkan yang terburuk,aku berteriak mengiba pada Allah,Selamatkan Dhima ya Allah….

Kami sekeluarga diperbolehkan untuk melihatnya dalam inkubator,hal yang jarang sekali diperbolehkan di ruangan bayi.Ketika aku melihatnya,wajahnya pucat, nafasnya sesak,bibirnya putih,tapi ketika aku datang, tangan kecilnya meronta dari bedongnya,terulur…Aku ingin sekali menggendongnya,aku tahu Dhima minta tolong,aku tahu….aku mamanya!!!

Terbesit dalam pikiranku,akankah ini terakhir kalinya aku menyentuhnya????

Aku merasa putus asa pada saat itu,semakin menyedihkan rasanya melihat suamiku, yang berusaha terlihat kuat, tapi aku yakin sekali kalau hatinya juga hancur .Maafkan aku suamiku….

Aku semakin merasa bersalah….

24 Mei 2009

Keadaan Dhima mulai membaik. Nafasnya sudah tidak terlalu sesak, headbox dan selang infusnya nya sudah mulai dilepas dan tali pusarnya juga sudah lepas. Merupakan hadiah ualngtahun yang indah bagi papanya.Kemajuan yang luar biasa bagiku.

Kebahagiaan mulai muncul, ketika Dhima belajar menyusu langsung padaku, walaupun masih sangat lemah Dhima selalu beusaha belajar menyusu padaku, aku bahagia sekali walaupun ASI ku tidak banyak dan kebahagiaan yang tak terlukiskan ketika pertama kali aku bisa menggendongnya….

Sini nak…mama ingin sekali peluk Dhima, cium Dhima, Menyemtuh jarinya yang mungil….

Maafkan mama nak, kamu harus tidur sendiri di Inkubator yang panas sendiri,cepat sehat nak.Kita pulang…

1 Juni 2009

Keadaan Dhima drop lagi, lebih drastis,bahkan dia harus pakai oksigen lagi, harus diinfus lagi dan berat badanya terus menurun.Hatiku teriris setiap kali melihat lengannya ( yang hanya sebesar jari telunjukku ) harus ditusuk jarum infus yang besar. Andaikan aku bisa menggantikkanmu nak….Mama rela…..

Aku lebih frustasi lagi ketika melihat bayi yang dirawat di ruangan itu satu persatu mulai pulang dijemput orang tuanya, sedih dan iri melihat wajah bahagia menggendong bayi dengan selimut yang baru.Sedangkan aku sering menangis melihat baju Dhima yang sudah dicuci bersih dan disimpan dilemari masih tersusun rapi menunggu untuk dipakai.Terbesit pikiran, apakah anakku akan sempat memakainya??? Aku hampir tak sanggup menerima kado dari teman-teman,semuanya aku tumpuk tanpa membukanya…..

Aku telah mengerahkan segala daya dan upaya, mulai dari obat yang kami tebus diluar plafon askes, doa bantuan spiritual dan syarat-syarat yang harus aku lakukan menurut orang pintar.Sungguh, waktu itu aku rela melakukan semuanya…

Orang tua kami pun tak kalah susahnya, mereka sama cemasnya dengan aku dan suamiku. Karena Dhima cucu pertama mereka. Bergantian kami menjaganya di emper Rumah Sakit, menunggunya diluar dan melihatnya sesekali dari Jendela ketika jam besuk datang.Itupun hanya lima belas menit.

2 Juni 2009

Keadaan Dhima tambah menurun,bahkan dia mengalami Apnea-nya yang kedua.Aku bersikeras untuk melihatnya walau dilarang, dan didepan mataku sendiri aku melihat, perawat berusaha mengeluarkan lendir yang menyumbat dan kental karena oksigen.Lendir itu sudah bercampur darah….

Aku sudah mulai pasrah,apaun yang terjadi aku harus siap.Tapi hati kecilku tetap tidak bisa menerima kenyataan ini….

7 Juni 2009

Dhima sudah 1 bulan dirumah sakit, belum ada perkembangan yang baik,bahkan hari itu perawat mengatakan kalau Gula Darahnya naik turun.Dhima harus di transfusi.Tak bisa akal sehatku menerima ini semua. Anak sekecil itu? Transfusi….??

Kami harus mencari donor untuk Tranfusi pertamanya.Untungnya ada seorang teman baik yang tidak akan aku lupakan jasanya mau mendonorkan darahnya. Transfusi peratama dhima tidak menolong,2 hari kemudian dia harus transfusi lagi. Kali ini tantenya bersedia,dhima akhirnya menjalani transfusi keduanya…

Setelah tranfusi keduanya keadaan semakin memburuk.Gula Darah tetap tidak stabil,pernafasan semakin memburuk,dan berat badanya tinggal 1300 gr. Dokter mmutuskan untuk mengirim Dhima ke RS yang lebih besar di Surabaya.Hal yang sangat aku takutkan dengan resiko yang besar di perjalanan dengan kondisinya yang lemah.

Tapi entah mengapa, tidak ada keraguan dalam hatiku untuk membawa Dhima ke Surabaya . Aku sudah sangat-sangat pasrah. Jika memang Allah tidak memercayaiku untuk merawat Dhima , aku sudah ikhlas…Sangat Ikhlas….

8 Juni 2009

Akhirnya kami berangkat ke Surabaya, dengan diagnosis Hipoglikemi. Dengan sebuah Ambulans dan seorang perawat kami berangkat siang itu, aku hanya membawa sebuah kepercayaan bahwa ini adalah petunjuk Allah, untuk kesenbuhan Dhima atau ini semua cobaan Allah yang selama ini sudah sangat pemurah bagiku. Dhima sangat pucat, dengan selang oksigen dan jarum infus ditanngannya, badanya sangat mungil,tak seimbang dengan ruang ambulan yang sangat besar, sebaliknya aku merasa sangat sesak ada didalamnya…

Kami tiba di ruang Gawat Darurat RS itu, RS yang sangt besar, dengan ratusan pasien gawat yang berasal daripuluhan kota di jawa timur. Aku merasa pusing,bingung dan takut di RS ini, dikota yang sama sekali asing bagiku,aku takut.Tapi aku hartus kuat demi Dhima… Dhima masuk RS itu dengan diagnosa Sepsis dan keadannya sudah sangat-sangat buruk waktu itu. Kami masuk ruang perawatan bayi menjelang malam dan waktu itu tubunya sangat dingin, dan nafasnya sudah mulai tersengal-sengal.

Kami harus cari darah malam itu juga ke Bank Darah, suamiku pontang-panting menebus antibiotik dan mencari darah untuk Dhima pada saat yang bersamaan. Dan malam itu juga dokter meyakinkan kami bahwa keadannya sudah buruk sekali, mereka meyakinkan kami bahwa kami harus siap dengan keadaan yang terburuk karena mereka sudah berusaha semaksimal mungkin.Kami diminta berdoa dan pasrah….

Dalam hatiku aku sudah sangat,sangat,sangat,sangat pasrah….

Malam itu aku melihat sendiri, tangan dan kaki Dhima sudah tidak bisa ditusuk jarum infus lagi, semuanya macet.Aku shock sekali ketiaka mereka harus mencukur rambut Dhima dan menusukan jarum infusnya di KEPALA.

Kami tidur di emper rumah sakit besar itu. Dengan pikiran yang kosong,takut,bingung dan pasrah….

10 Juni 2009

Minggu pertama di RS itu dilalui Dhima dengan berbagai macam therapi antibiotik dan transfusi darah, berkantung-kantung darah yang harus kami tebus hampir tiap hari.Aku mulai berfikir,akankah masih ada darah orang tuanya tersisa dalam tubuh kecil itu? Yang lebih menyakitkan lagi, transfusi berlangsung sangat menyakitkan mengingat selang transfusi sering macet dan harus diganti dibagian tubuh Dhima yang lain.

Aku sempat menghitung bekas tusukan jarum yang ada di tanagn dan kaki Dhima. Lebih dari 30 bekas tusukan, termasuk bekas alat untuk mengaetahu kadar gula darahnya yang setiap hai harus di ulang.

Kami harus selalu berada didekat ruangan itu,karena takut ada hal penting yang disampaikan dokter menyangkut perkembangan Dhima.Kami tidur di teras RS yang lebarnya hanya 2 meter dan terbuka menghadap taman,aku tidak bisa mebanyangkan bagaimana jika hujan turun tengah malam disaat kami sedang tertidur,kami juga harus berbagi 1 kamar mandi kecil( WC dengan 1 bak kecil tepatnya) dengan puluhan orang yang bernasib sama juga dengan kami.

Bagiku hari-hari terasa sangat lambat,tiap pagi aku bangun menunggu-nungu apa yang akan terjadi hari ini, akankah keadaan Dhima membaik atau bertambah buruk.Seingatku,setiap hari aku cemas, apalagi setiap ada suster yang memanggilku dari dalam ruangan,aku akan cepat-cepat masuk (karena memang hanya ibu si bayi yang boleh masuk ruangan ) sambil berharap bukan kabar buruk, ternyata suster itu Cuma mau bilang kalau susu dhima sudah mau habis.

20 Juni 2009

Allah menunjukkan kebesarannya, Allah menjawab doa-doa kami .Dhima mulai menunjukkan kemajuan.Sepsisnya sudah mulai teratasi,Hasil kultur darahnya negatif,Gula darahnya mulai normal,berat badannya juga mulai naik. Dhima juga sudah mulai aktif,sangat bahagia ketika dia sudah lepas dari selang-selang yang biasa memenuhi tubuhnya. Aku mulai mleihat Dhima seperti ‘Bayi’, karena sebelumnya aku ngeri melihat Dhima dengan alat-alat medis disekitarnya. Dhima mulai intens menyusu padaku. Walaupun ASI ku sudah terlanjur tidak lancar karena faktor psikologis. Aku bertekad bisa menyusuinya,rasanya ada perasaan hangat dan nyaman ketika aku menggendong Dhima, apakah Dhima juga merasa begitu ya??

 

30 Juni 2009

Berat Dhima sudah 1600 gr, targetnya dia boleh pulang kalau sudah 1800 gram.Dhima juga sudah turun dari inkubator ke box bayi biasa. Sudah tidak ada masalah berarti lagi,tinggal menunggu berat badannya saja. Aku semakin bersemangat menyusui Dhima, karena ASI terbukti yang paling cepat untuk menmbah berat badannya.

Aku mulai melihat harapan di wajahku,suamiku dan orang tuaku yang setia menemani kami ‘kamping’ di rumah sakit. Mereka mulai tersenyum, sudah tidak ,menangis lagi seperti hari-hari pertama kami di RS. Kami sudah sangat optimis kalau Dhima akan segera pulang.

20 Juli 2009

Di RS besar ini perawatan nya sangat intens. Termasuk dari segi penaggulan resiko yang biasanya dialami oleh bayi-bayi prematur. Dokter spesialis yang ada di rumah sakit ini memeriksa pendengaran dan penglihatn bayi, yang memang kedua indra itu yang sangat beresiki. Terlebih lagi dengan kondisi Dhima yang pernah mengalami infeksi berat.

Disinilah kesabaran kami diuji lagi,ternyata kami terlalu sombong dan yakin kalau dhima sudah bisa pulang. Menurut hasil pemeriksaan telinga Dhima mengalami sedikit masalah, alat yang digunakan untuk memeriksa telinganya mengindikasikan sedikit masalah pada telinganya. Tapi pemeriksaan akan dilanjutkan seminggu setelahnya untuk mengetahui gangguannya. Dan peneriksaan mata Dhima pun tidak begitu memuaskan. Ada indikasi perusakan sel pada retinanya, hal ini sering terjadi bayi prematur yang harus memakai oksigen dalam jangka panjang. Memang aku sudah mengetahui masalah ini dari internet sebelumnya, dan sebelum di bawa ke Surabaya pun aku sudah pernah minta kepada dokter spesialis mata untuk melihat ROP-nya. Memang pada saat itu belum terlihat gejala ROP, setelah itu memang aku tidak terlalu m,emusingkannya karena Live Saving Dhima lebih utama.

Pemeriksaan mata inilah yang membuatku Down lagi.Aku takut terjadi apa-apa sama Dhima.Menurutku fatal kalau mata yang terganggu.Aku mulai teringat kisah bayi kembar yang ada di Jakarta.Aku mulai menagis lagi, depresi dan entah apa lagi namanya. Sejenak aku merasa bahagia, sekarang aku dihempas lagi jatuh…terpuruk.Tapi suamiku masih membesarkan hatiku, masih ada harapan di pemeriksaan kedua, setelah dihitung masa gestasi kehamilan ku seharusnya regresinya mebaik,perusakan selnya berhenti. Aku masih berusaha memebsarkan hatiku, berdoa dan terus berharap agar Dhima diberikan kesembuhan.

Akhirnya pemerikasaan kedua dilakukan, dengan perasaan gak karuan aku menunggu diluar, karena memang tidak boleh melihat proses pemeriksaan yang harus membalik bola mata Dhima dengan alat khusus. Aku sedih mendengar tangis Dhima yang kencang dari luar, aku tahu pasti dia kesakitan dan ketakutan menjalani peemrikasaan itu. Hingga pada akhirnya, suamiku dipanggil untuk bertemu dokter,perasaanku sudah tidak enak karena dokter hanya mau bicara pada suamiku,sedangkan aku dilarang bertemu dokter. Akhirnya kabat buruk itu aku dengar dari suamiku, regeresinya memburuk.ROP nya sudah stadium III, sedangkan stdium IV retina bisa lepas dan mengalami kebutaan. Dhima harus menjalani operasi laser untuk menghentikan perusakan selnya.Aku menagis sejadi-jadinya. Aku tidak bisa menerima kenyataan itu.Aku bertanya pada Allah , Cobaan apa lagi ya Allah???Rasanya aku gak sanggup lagi…

Rasanya semalaman aku menangis.ASIku tidak keluar hari itu. Perawat yang ada disana juga turut prihatin atas kondisi Dhima. Setahu mereka ini kasus pertama di ruangan itu. Bahkan tim dokter mata yang memeriksa Dhima juga tidak menjajnikan apa-apa setelah operasi dilakukan.

Suamiku terus meyakinkan aku bahwa semua ini cobaan,semua harus dihadapi karena bagaimanapun Dhima anak kami, dan bagaimanapun keadaanya Dhima harus tetap kami rawat. Butuh waktu buat aku bisa menerima keaadaan itu, sampai akhirnya aku sadar, apapun keadannya Dhima tetap anakku, dan aku mamanya yang harus menjaga dan melindunginya.

Sekali lagi aku pasrah…..

22 Juli 2009

Dhima mulai dipersiapkan untuk menjalani laser. Karena harus tepat, Dhima harus dibius total. Beberapa kali tim dokter yang menangani matanya memriksa Dhima.Kami pun sudah menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi. Tim anastesinya pun juga melakukan beberapa pemeriksaan, mereka sempat ragu mengingat berat badan Dhima yang masih 1600 gr, tentang kemungkina suhu ruang bedah yang sangat dingin, sedangkan Dhima harus selalu hangat. Dan kemungkinan lain yang terjadi. Saat itu rasanya aku sudah tidak bis lagi mengikuti proses yang terjadi. Rasanya pikiranku kosong dan hampa,tak tahu apa yang harus dilakukan.

Ternyata menjelang operasi HB dhima turun dan sekali lagi, agar dia siap untuk operasi Dhima harus di transfusi lagi….

23 Juli 2009

Hari ini operasi Dhima, sangat kebetulan karena tanggal itu ada ruang operasi yang kosong an tim dokternya pun siap. Aku bangunm pagi untuk menyiapkan diriku,hatiku . Aku bertekad akan menemani Dhima hari ini. Selang bhuret sudah terpsang di tangan Dhima , dengan seorang dokter anak kami berangkat menuju ruang operasi dengan transporable inkubator. Waktu itu Dhima harus puasa sebelum operasi, jadi semalaman dia menagis karena haus dan lapar, perawat sampai memanggilku masuk ruangan tengah malam karena dhima menangis terus, dia hanya menghisap mpong agar dia nyaman. Aku kasihan sekali melihat Dhima harus puasa lagi, selam perjalanan menuju ruang operasi pun Dhima msih menangis, apalagi aku…..

Aku terus temani Dhima selama dia akan di bius, aku masih tidak tega melihat badan kecil itu di meja operasi. Bahkan dokter anastesinya pun berkata bahwa dia bayi terkeci yg pernah dibius total di lantai itu. Dhima masih terus menangis, aku masih menemaninya karena memang hanya ibunya yang boleh menemani. Sebenarnya aku tidak sanggup, tapi demi Dhima aku harus kuat. Nerkali-kali aku harus menghapus air mata, tenggoroaknku rasanya sakit menahan tangis. Aku bertekad tidak akan menagis, karena kau tahu,Dhima psti juga akan sedih.

Aku sempat berpamitan dengan Dhima aku katakan padanya, Dhima jangan takut,mama tunggu dibawah sama papa, Dhima gak boleh nagis karena Allah pasti jaga Dhima.Dhima harus berdoa juga ya,sama mama….

Sampai akhirnya Dhima dikeluarkan dari inkubator untuk dibius,dia mash menagis,bahkan lebih keras. Dhima diletakkan diatas bantal hangat khusus untuk menjaga suhu badannya. Aku disuruh keluar karena Dhima akan segera dibius, dengan tidak tega aku keluar, sambil terus terdengar suara Dhima menangis dan bunyi ‘tit-tit’ yang menyesakkan dada.

Ya ALLAh,aku titipka dia pad Mu ya Allah, lindungi anakku….

Operasi berjalan selama satu jam, tapi aku harus menunggu masuk recover room sampai 3 jam, rasanya waktu berjalan sangat lambat,Aku tidak bis bayangkan apa yang sedang terjasi di ruang operasi sana..

Akhirnya aku dipanggil untuk naik ke Recovery Room.Setenngah berlari aku nak,tak sabar ingin melihat keadaan Dhima. Diatas aku lansung masuk dan mendapati dhima sudah sadar dan menangis dalam inkubatornya. Dokter yang menangani sempat heran karena Dhima langsung menagis kencang dan menendang-nendang pintu inkubatornya dengan kuat. Mereka bilang kalau Dhima bayi yang kuat, dan aku langsung boleh menyusuinya. Dhima terlihat sangat haus, tapi karena masih dalam pengaruh obat bius, dhima masih malas menyusu, tapi dia terlelap waktu aku gendong, keliahtan nhyaman sekali. Aku sedikit tenang, bergantian dengan suamiku kami menunggui dhima sampai dia boleh dibawa kembali ke ruang perawatan.

24 Juli 2009

Hari-hari setelah operasi aku merasa lebih tenang. Aku sudah mulai belajar ikhlas atas semua yang terjadi. Mulai belajar bahwa, semua ini tidak lain adalah kehendak Allah.yang harus aku jalani. Aku sudah sangat siap atas keadaan Dhima,toh Allah sudah Maha Pemurah menyelamatkan dia dari masa-masa kritisnya dulu. Aku hanya ingin membawa Dhima pulang. Memperkenalkannnya pada saudara-saudaranya, memeperlihatkannya pada teman-teman yang selama ini sudah banyak membanyu kami. Tapi perasaan itu sudah tidak menggebu-gebu seperti dulu lagi. Aku sudah terbiasa menjalani hari-hari ku di RS.Tanpa berandai andai dan berani memprediksikan kapan akan pulang.

30 Juli 2009

Berat badan Dhima sudah 1700 gr.Berarti, tinggal 1 ons lagi dia sudah bisa kami bawa pulang. Teman-teman yang memiliki kasus yang sama sudah lama meninggalkan Rumas Sakit,berganti dengan orang-orang baru dengan berbagai penyakit yang selama hidupku tidak pernah,bahkan terbesit dalam pikiranku. Mata ku terbuka, bahwa masih banyak orang yang lebih menderita dari aku,lebih susah.

Dengan sabar aku menunggu hari itu, aku ingin pulang.Bahkan cutiku tinggal beberapa hari lagi.

5 Agustus 2009

Hari itu hari yang sangat aku nantikan,dokter yang menangani Dhima berkata bahwa Dhima diperbolehkan pulang. Kata-kata itu bagai air surga bagiku. Rasanya tidak percaya bahwa saat yang kami nantikan datang juga, suamiku juga sangat bahagia,sujud syukur dan tak henti-hentinya dia mengucapkan Alhamdulillah.

Esoknya, kami pulang. Dengan sangat antusias aku menyiapkan pakaian pertama dhima yang aku bawa,pakaian itu dipakai untuk pertama kalinya…masih sangat kebesaran. Lucu sekali.

Kami pulang, dan kami yakin kami tidak akan pernah melupakan tempat itu.

1 Agustus 2010

Itulah Dhima, seorang bayi kecil,titipan Allah yang mengajariku banyak hal. Bahwa kita manusia ini sangat kerdil tak ada apa-apanya dibanding kebesaran-Nya. Bahwa apapun yang terjadi sudah ada yang menetukan. Dhima juga mengajariku untuk bersabar, belajar untuk Ikhlas dan pasrah atas apa yang terjadi. Dhima juga yang membuka mataku akan mukjizat Allah yang nyata, dengan segala kebesaranNya. Dhima membuatku sadar bahwa menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah, menjaga amanah –Nya apalagi.

Semua yang kami alami adalah ujian bagi cinta kami. Ujian di usia pernikahan kami yang masih sangat muda. Ujian itu juga yang kelak akan membuat cinta kami semakn kuat, yang akan menjadi dasar kehidupan kami berdua seterusnya. Semoga saja, cobaan itu akan menjadi pengingat bagi kami kelak,ketika kami dihadapkan pada godaan-godaan yang menguji kesetiaan kami.

Rasanya bahagia sekali ketika aku melihat Dhima tumbuh besar. Walaupun dengan perawatan yang sedikit exstra, Dhima tumbuh menjadi bayi yang lucu, walaupun perkembangannnya tidak secepat bayi-bayi seusianya. Sekarang Dhima berumur 15 bulan, bagiku perkembangan sekecil apapun sangat membahagikan.

Mungkin aku tidak akan dapat melewati ini semua tanpa kuasa Allah, Bantuan dan doa dari Saudara,Teman, Dokter dan orang –orang yang banyak membantu kami,peduli pada kami dan mau baerbagi dengan kami. Terima kasih bagi semua….Allah akan membalas semua amal ibadah mereka.

Sekarang Dhima,mama dan papanya bertekad akan menjalani hidup ini dengan tegar dengan selalu mengharap Ridho Allah..

Merry Setiawan, Ibu dari Fauzan Adhima

Read Full Post »

Hmm…dari mana ya awal mula ceritanya?? Ok, cerita ini bermula pada kehamilan saya yg memasuki minggu ke-28; dimana saya menjalani ritual 7 bulan-an pada tgl 20 Mei 2007 (walaupun saya ini keturunan Chinese tapi keluarga saya masih percaya adat Jawa juga). Pada acara tersebut, banyak yg bilang kalo wajah saya bengkak…dan itu memang betul. Sejak kehamilan saya memasuki bulan ke-6, kondisi saya memang sudah mulai membengkak…awalnya memang dari kaki, dan kata Dr. nya, itu normal. tetapi lambat laun, bengkak ini udah kemana2. sampai2 telapak kaki saya sangat terasa tebal dan sakit sekali kalau langsung bersentuhan dengan lantai; belum lagi jari2 tangan saya yang bengkak semua sehingga tidak dapat dibengkokkan, yah seperti kalo balon penuh terisi udara/air trus mau dibengkokkan, ya ga bisa…begitulah…trus belum lagi wajah saya bengkak sepenuhnya…

25 Mei 2007…Akhirnya, saya tidak tahan lagi. sebelum jadwal kontrol bulan ke-7, saya sudah putuskan untuk konsultasi dgn Dr. ternyata setelah diperiksa dan diulangi sampai 3x, tekanan darah saya sudah mencapai 200/100 mmHg. Dr. pun tidak percaya, akhirnya beliau memutuskan malam itu juga saya harus opnameSaya tidak menyadari bahwa semua gejala yg telah terjadi itu adalah disebabkan oleh tekanan darah yang tinggi. Padahal sebelum ke Dr. itu, saya masih sempat jalan2 dan makan malam di Mall dekat rumah saya. hehehe… Malam itupun saya langsung opname di RS swasta di Sby barat. Padahal sungguh, saya tidak merasakan pusing, hanya saja tidak tertahankan dengan sakit akibat bengkak yang terjadi. Pada saat masuk, saya langsung diberi infus untuk menurunkan tekanan darah saya, karena mungkin reaksi infus itu sangat cepat, saya malah merasa pusing, sampai dgn subuh pun saya sampai nangis2 gak bisa tidur akibat pusing tsb. Akhirnya keesokan harinya, tensi saya malah naik menjadi 220/100 mmHg. Dr. pun memutuskan untuk memasukkan saya ke ruang ICU. Waduh, pikiran saya pun bertanya2, lha kok masuk ICU, ternyata dgn masuknya saya ke ICU itu, hanya untuk memantau tekanan darah dan fungsi organ2 vital saya selama 24jam. Dan kondisi bayi saya (thanks God) sangat baik dan stabil, itu terlihat dari pemeriksaan denyut jantung melalui alat (saya lupa apa namanya, itu alat yg ditempelkan di perut ibu, untuk mendengarkan detak/denyut jantung).

27 Mei s/d 3 Juni 2007… selama 1 minggu saya di ICU, ternyata kondisi saya tidaklah stabil, tetapi kondisi bayi saya sangatlah baik dan stabil. Tensi saya naik turun kayak gelombang, belum lagi nilai SGOT dan SGPT saya meningkat tajam, bahkan melebihi ambang normal, dan satu lagi yang terparah, nilai trombosit saya merosot tajam. Ternyata, saya ini didiagnosa terkena Pre-eklampsia yang disertai dgn HeLP syndrome; yaitu He untuk Hemolisis (menurunnya kadar trombosit); L untuk Liver (meningkatnya nilai fungsi liver yaitu SGOT dan SGPT) serta P untuk kadar platelet yang rendah. Jadi saya sempat menjalani transfusi Trombosit sebanyak 2x dan albumin (kalo gak salah juga 2x). Transfusi albumin ini dilakukan karena menurut hasil lab, albumin saya rendah…sampai2 saya juga harus makan putih telur, minimal 6 buah setiap hari (mbayangin aja udah eneg ga karuan…hihihi) tapi ya mau gimana lagi, itu merupakan suatu keharusan. Jadi di tiap menu makan saya (pagi, siang dan malam), itu tersedia 2 buah putih telur rebus….

Dan akhirnya, 3 Juni 2007 jam 9.00 pagi, Dr. menemui saya dan memutuskan untuk melahirkan bayi saya pada jam 17.00 hari itu juga, melalui operasi caesar. Sayapun bertanya, kenapa Dok? trus Dr. menjawab, kondisimu semakin buruk, tetapi bayimu baik2 saja. Ini adalah kondisi yg tidak menguntungkan bagi sang ibu…kalau tidak diambil tindakan ini, bisa2 kamu yg meninggal…Dr. menjawab begitu. Sayapun hanya bisa berdoa dan pasrah…Dr. berkata, % keberhasilannya adalah 50:50 karena dilihat kehamilan saya yg baru aja memasuki minggu ke-30 dan berat bayi saya menurut USG hanya 1300 gram (kata Dr. itu masih +/- 10%). Yah apa mau dikata, keselamatan sang ibu lebih penting, akhirnya jam 12.00 siang, saya didatangi oleh Romo (saya adalah penganut agama Katolik) yg datang untuk memberikan Sakramen Perminyakan (dalam Gereja Katolik, sakramen ini khusus diberikan hanya untuk orang yang berada dalam bahaya maut atau sakit keras); keluarga pun sudah memberitahu saya, bahwa pemberian sakramen ini bukanlah bertujuan untuk menakut2i saya bahwa saya berada dalam bahaya maut, namun ditujukan untuk memberikan ketenangan dan kedamaian hati serta pikiran saya dalam menunggu dan menjalani operasi caesar nanti sore. Benar, setelah menerima sakramen itu, sayapun menjadi lebih tenang dan tidak berpikir yg aneh2.

3 Juni 2007 jam 16.30, saya bersiap menuju ruang operasi dan sekitar jam 17.10 dimulailah operasi caesar itu. Thanks God,berjalan dgn lancar. Akhirnya jam 17.50, lahirlah bayi saya, yang saya dan suami saya beri nama  Michael Hartawan Santoso Atmodjo dengan berat lahir 1080 gram dan panjang 39 cm. Langsung saja, setelah lahir dan dibersihkan, Michael langsung dipindahkan ke NICU dan diletakkan dalam incubator. Perjuangan hidup Michael berawal dari sini…

Michael di detik-detik awal kehidupannya

Michael memang kecil, tapi thanks God, dia tidak membutuhkan alat bantu napas seperti ventilator (kata suami saya, itu karena sblm lahir, saya udah disuntik “surfantan” , pokoknya zat untuk membantu perkembangan alat nafas bayi supaya siap bila dilahirkan; padahal saya gak merasa tuh.. Apa lupa ya?? hehehe). hanya saja, Mike membutuhkan helm oxygen, dan sempat menjalani transfusi selama 4x karena kadar hemoglobinnya yg rendah (lazim terjadi pada bayi prematur) dan juga fungsi penglihatan juga baik, karena bantuan oxygen yg diberikan tidaklah lama. Hari demi hari, berjalan lambat…setiap hari saya datang ke RS, pagi selama +/- 3-4 jam trus pulang dan sore s/d malam datang kembali selama 2-3 jam, sampai +/- 1,5 bulan.

senyum pertamanya

Perbandingan besar badan Michael dan inkubator

Mike diletakkan dlm incub selama 1 bulan, lalu setelah beratnya mencapai 2 kg, dia boleh pulang. Bencana pun terjadi. Pada 2 hari stl kepulangannya ke rumah, dia tersedak saat minum susu dan wajahnya membiru serta seperti orang pingsan yg tidak merespon apa2, akhirnya tengah malam itu kami bawa dia ke RS, kembali ke NICU. Saya dan suami sangat takut. Akhirnya ya kami “titipkan” Mike lagi di NICU, karena kondisi di rumah, saya sendirian, tidak ada pembantu ataupun ortu, serta suami saya kerja dan pulangnya sampai malam (thanks God juga…semua biaya ditanggung oleh asuransi kantor suami saya). Sampai pada usia 2 bulan, Mike menderita hernia di bagian kanan dan harus dioperasi. Akhirnya dia dioperasi, dan sekalian saya minta dokter untuk melakukan tindakan sunat (kan sekalian). Thanks God operasi ini berjalan dg lancar. Setelah berat Mike mencapai 4,5 kg, kira2 awal Sept, dia boleh pulang. Tetapi cobaan tidak berhenti disitu, pada pertengahan Sept tsb, Mike menderita hernia lagi, kali ini di bagian kiri. Tentunya, harus operasi lagi karena hernia nya udah turun sampai di (maaf ya..) buah zakarnya. Jadi dia sangat kesakitan dan menangis terus. Ternyata hernia ini disebabkan karena bayi prematur memang rentan, selain karena fungsi organ blm sempurna, juga bayi prematur suka “ngeden” (saya kurang tau bhs Indo nya apa, pokoknya mulet2 gitu lho. Kayak meregang2 sampai mukanya merah), dan ini banyak terjadi pada bayi prematur yg laki2.  Operasi kedua pun berjalan sukses. Thanks God

Setelah operasi hernia yang pertama

 

Sesaat menjelang operasi hernia kedua

Cobaan lain terjadi lagi. Kali ini pada bln Nov 2007, pada saat Mike berusia 5 bln. Ini murni krn keteledoran saya, Mike terjatuh dari tempat mandinya (org2 bilang baby towel, itu lho, tempat mandi diatas lemari pakaian,tau kan?), kan tinggi banget, tapi memang Tuhan itu sungguh baik, ajaibnya, Mike tidak terluka suatu apapun, hanya kaget saja sehingga menangis saja, dan langsung saya bawa ke UGD untuk diperiksa…dan setelah observasi 24 jam, thanks God, dia dinyatakan baik2 saja dan boleh pulang. Setelah itu, dan sampai sekarang, thanks God, Mike merupakan anak yg sehat dan aktif.

Michael di ulang tahunnya yang ke-4

Demikian ini sharing dari saya…semoga bermanfaat bagi yang membaca. Sekian dan terimakasih.

Nita Matair, Ibu dari  Michael Hartawan

Read Full Post »

Sebelum punya anak prematur, di pikiran saya, bayi prematur itu tidak jauh berbeda dengan bayi normal lainnya, hanya berbeda berat badan saya. Ternyata, pemahaman saya masih kurang dan jauuuh lebih dalam dari pada itu. Memang benar, nantinya bayi prematur akan mengejar ketinggalannya di usia 2tahun, tetapi sebelumnya, ada perjalanan panjang yang mungkin saja tidak mudah dan berliku yang harus dilalui. Makanya, saya selalu menyebutnya “Pejuang Kecilku” karena saya melihat sendiri bagaimana ia berusaha keras bertahan dan beradaptasi dengan dunia barunya.

Ketika hamil Ganendra di usia kehamilan 26 minggu, hari Selasa, tanggal 13 Juli 2010, tiba-tiba saya terbangun di pagi hari dengan kondisi sudah mengalami kontraksi. Saya kira itu hanya braxton hicks atau kontraksi palsu. Saya pikir ini wajar ternyata setelah saya hitung, kontraksi terjadi tiap 10 menit sekali dengan lama 30 detik. Gawat! ini bukan lagi kontraksi palsu. Saya bergegas ke rumah sakit dan menemui siapa saja Obgyn yang praktek sore itu. Alhamdulilah, masih bisa bertemu Obgyn saya. Begitu di USG, dokter kaget karena bayi udah engaged di jalan lahir dan sudah terjadi kontraksi teratur. “periksa dalam ya bu.. ” kata Obgyn saya pelan. Saya kaget, karena saya tahu ada yang tidak beres. Hasilnya ternyata sudah pembukaan 2 dan mulut rahim saya sudah menipis. Obgyn saya langsung bereaksi “Ini harus rawat inap” dia dengan cepat meraih telpon untuk menelpon suster2 di lantai 10 (kebidanan) untuk menyiapkan peralatan dan rawat inap.

Setelah itu, kejadian berlangsung cepat, tau-tau saya udah di kursi roda dibawa ke lantai 10. Semua orang ngeliatin dengan muka “waah, mau ngelahirin ya..”  sementara saya cuma bisa nunduk dan gigit2 bibir nahan nangis. Sampai di lantai 10, saya dinaikin ke atas brankar di ruang 2B untuk sementara. Suster2 pada ngerubungin untuk masang infus duvadilan, cek tensi, dan gak tau apa lagi. Saya nge-blank! asli gak bisa mikir apa2 karena saking shocknya.  Gak lama saya dipindahin ke kamar. Di kamar, saya udah mulai berasa tenang dan pasrah. Istighfar terus walau kayak tercekat. Selanjutnya saya gak inget pasti, tapi keadaan udah mulai stabil. Kontraksi sudah berkurang dan gak seheboh tadi. Tiap jam, saya dipantau. Beberapa suster mengelilingi saya buat cek tensi, suhu, dan cek detak jantung bayi melalui dopler. Saya gak bisa tidur sampai malem karena badan sakit semua dan intensitas tetes infus ditambah. Diagnosa dokter, saya terkena infeksi saluran kencing dan mulut rahim yang tipis.

Pagi-pagi, adik saya, yang menjaga saya, pamitan pulang karena harus bekerja. Selama saya sendirian, suster melakukan visite pagi. Saya harus periksa dalam lagi dan gak lama dokter datang memberitahu “Ibu, sekarang udah pembukaan 6 dan sudah harus siap-siap melahirkan..” Setelah itu dokter menjelaskan tentang bayi prematur, tentang NICU dan biaya perawatannya. Saya tidak bisa memutuskan apa-apa karena pada waktu itu posisi suami sedang di Jakarta dan daam proses mengurus pindahan ke Surabaya.

Saya dibawa ke ruang bersalin dengan kursi roda. Saya gak bisa mikir apa-apa. Takut, gemetar, bingung, semua jadi satu. Disana saya sendirian. Saya berusaha gak nangis dan ngajak ngomong kakak “Nak, Bunda ikhlas kalo kamu harus lahir sekarang, Tapi kalo bisa jangan dulu ya..”  Saya berdo’a “Saya pasrah dengan kehendakMu, Ya Allah.. kalo memang ini yang terbaik dariMu. Saya punya keinginan, tapi semua ini milikMu..” Saya rasa disitulah, titik terpasrah saya.. Bukan, bukan saya gak mau optimis dengan keadaan, tapi gak ada gunanya juga maksain kan? Kita maunya begini, tapi Allah punya kehendakNya. Saat itu termasuk yang berat buat saya karena jujur,saya sedih dan pengen nangis, tapi gak bisa dan gak boleh, karena saya khawatir akan mempengaruhi kakak. Saya inget kata2 seorang temen “pikirin aja senengnya, sebentar lagi kamu akan ketemu anakmu..” and I did it. Even it was hard for me.. Kita gak tahu apa yang terjadi nanti.. Tapi setidaknya bikin saya lega sedikit dan gak panik. Saya hanya bisa dzikir dan istighfar, do’a yang rada panjang dikit, leher lagi2 saya tercekat.. Hanya bisa nyebut asma Allah.

Setelah 2 jam diruang bersalin, ketegangan berangsur2 hilang karena dari hasil observasi, mulut rahim saya yang sudah menipis 75% sudah menebal kembali dan Dokter memutuskan untuk mempertahankan bayi. Alhamdulillaah.. Saya bedrest di rumah dan hanya boleh sedikit beraktifitas. Bahkan sempat kemana-mana pake kursi roda. Obat oral jalan terus karena saya harus mempertahankannya sampai 4-6minggu lagi agar BB-nya siap untuk dilahirkan.

Selama masa bedrest, saya “berkejaran” dengan waktu. Saya makan es krim gila-gilaan untuk menaikkan berat badan bayi. Firasat saya bilang, he could be born any minute so I had to prepare myself.

2 minggu sesudah rawat inap,

Rabu, 28 Juli 2010

Tulang punggung belakang saya sakit sekali.

Saya tidak merasakan kontraksi cuma belakang punggung bagian atas, sakit banget kalo mau tidur. Saya anggap biasa karena pas 3-4 bulan juga gitu, katanya peregangan tulang punggung untuk menahan beban yang semakin bertambah. Beberapa kali mules krn sedikit BAB. Sempet khawatir efeknya apa ya kayak gini.

Kamis, 29 Juli 2010

Jam 1 malam,tiba-tiba bunyi “duk!” dan kayak air pipis yang keluar, padahal saya gak ngompol. Huaaa! asli langsung bangun dan lompat dari tempat tidur.. “Ya Allah, ya Allah.. apa ini?” saya ngebangunin suami “Ayah! Ayah! keluar air!” Suami bangun dan kaget. Sprei udah basah. Saya sempet ke kamar mandi dan mikir apa ini air pipis? mungkin salurannya ketendang,soalnya saya pipis bisa walaupun pas berdiri ngerembes dikit. Saya masih bingung apa ini air ketuban atau enggak. Balik ke tempat tidur dan saya buat telentang, ternyata airnya keluar banyak. Wah udah deh, ini pasti ketuban. Suami telfon Ibu mertua, kami disuruh kesana dulu buat ganti mobil dan dianterin ke rumah sakit. Rumah sakit saya emang jauh dari rumah, tapi saya mantap dengan pilihan ini apalagi katanya RS ini termasuk yang bagus perawatan NICU-nya. Lucunya, saking paniknya, saya dan suami cuma bisa berdiri bengong. Gak sempet mikir masukin apa2, inget2 kalo pesen dokter dan bidan kalo kasus saya, pecahnya ketuban bisa memicu pembukaan lengkap dengan cepat. Karena panik saya cuma bawa tas sehari-hari saja, hehehe..Selama diperjalanan, kontraksi baru saya rasakan sedikit.  Sampai di RS sekitar setengah 3, saya menuju ke lantai 10. sementara keluarga yang lain ngurus administrasi.

Saya langsung dipasang infus dan masuk ke ruang bersalin. Ketuban sudah pecah, artinya bayi harus segera dilahirkan. Saya takut. Apa yang akan terjadi setelah anak ini lahir? saya berusaha menguatkan diri dan bilang ke anak saya “ayo nak, kita harus bisa survive!”  

Jam 06.10 anak saya, Ganendra Kayana Putra Adhiwibowo, lahir dengan suara tangisnya yang kencang. Suster dari NICU sudah bersiap dengan inkubatornya didampingi oleh DSA. Saya diperbolehkan mencium pipi Ganendra sebelum dia dibawa ke NICU. Hangat.. dan air mata saya pun menetes.

Ketika saya melihat pertama kalinya dia di inkubator NICU, saya ingin menangis dan memeluknya. Ya Allah.. kecilnya anakku. Berbagai perasaan campur aduk dan ketakutan terbesar saya “could he survive?” Pengetahuan saya tentang prematur adalah nol besar. Ketika Ganendra harus transfusi darah, albumin dan sering lupa nafas (apnea) saya lewati dengan perasaan takut dan khawatir. Dari situ saya berusaha mencari info tentang merawat bayi prematur sebanyak-banyaknya dan sharing dengan ibu-ibu yang juga punya anak prematur. Ternyata hal ini banyak membantu dan menguatkan saya, saya tidak sendiri dan Insya Allah, Ganendra pun bisa seperti anak normal lainnya. Ini juga suatu “tantangan” terbesar karena di lingkungan saya dan keluarga, jarang yang punya anak prematur. Saya yakin, dalam hati mereka, juga ada kekhawatiran yang sama.

Sering di malam hari ketika saya bangun tidur untuk memerah ASI, saya menangis, ngebayangin Ganendra disana sendirian. Saya hanya bisa bilang “saya titip anak saya, ya Allah..”

 

 

Waktu Ganendra akhirnya bisa pulang, saya seneng bukan main. Akhirnya bisa berkumpul bersama anak saya. Sebenernya ketika pulang ke rumah, bukan berarti tantangannya berakhir. Justru menurut saya, tantangannya lebih besar. Saya harus menyiapkan kamar yang steril, mencegahnya kedinginan dan melatih Ganendra mau menyusu langsung ke saya. Karena terbiasa dengan dot dan refleks hisap yang lemah Ganendra menolak untuk menyusu langsung. Dengan menerapkan latihan relaktasi dan dilakukan dengan berulang, akhirnya mau juga Ganendra menyusu langsung. Subhanallah..

Selama ini, Ganendra sudah melalui proses screening pemeriksaan ROP, Echo Jantung, Test BERA dan USG Kepala. Alhamdulillah semuanya bagus kecuali USG Kepala yang hasilnya menyatakan ada pengapuran otak sedikit. Kata DSAnya kalo cuma sedikit, Insya Allah tidak perlu terapi apa-apa, cuma diwaspadai resiko kejang. Ini yang membuat saya selalu waspada ketika Genendra sakit.

Semoga semakin besar nanti Ganendra akan sehat selalu dan mengejar ketinggalannya. Saya percaya, walaupun Ganendra lahir prematur, ia bisa survive layaknya anak normal lainnya 🙂

Astrid Rysa Andianita, Ibu dari Ganendra Kayana Putra Adhiwibowo, 13 bulan

 

 

Read Full Post »